TEMPO.CO, Jakarta - Kantor Korps Lalu Lintas Mabes Polri di Jalan MT Haryono Kaveling 15, Jakarta Selatan digeledah Komisi Pemberantasan Korupsi. Penggeledahan ini terjadi sejak Senin sore kemarin, sampai Selasa dini hari.
Sumber Tempo mengatakan penggeledahan itu terkait pengusutan dugaan korupsi kasus proyek Simulator alat uji test Surat Izin Mengemudi. Penyidik KPK dalam operasi penggeledahan berusaha mencari dokumen terkait dengan proses tender itu.
Penggeladahan dilakukan sejak Senin pukul 16.00 WIB dan berlangsung sampai pukul 22.00 WIB. Namun sampai Selasa dini hari, penyidik belum bisa keluar dari kompleks Korps Lalu Lintas Mabes Polri.
Hingga berita ini diturunkan belum satupun pimpinan KPK yang bisa dimintai komentarnya. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, tidak menjawab pesan yang dikirimkan lewat BlackBerry-nya. Demikian juga Kabag Humas Polri Komisaris Besar Boy Rafly Anwar.
Sebelumnya, Pengacara dari terdakwa korupsi proyek pengadaan simulator sim, Bambang S. Sukotjo, meminta pihak Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengecek adanya dugaan mark up dalam proyek simulator itu. Ia berkata, biaya yang dibayarkan Direktorat Lalu Lintas untuk simulator itu terlalu besar untuk tidak disebut mark up.
"Saya yakin sekali itu mark up, tidak mungkin tidak. Keuntungan yang diterima Budi Susanto (pemilik PT Citra Mandiri Metalindo) terlalu besar," ujar pengacara Bambang, Erick S. Paat.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Direktorat Lalu Lintas Mabes Polri melakukan pembelian Simulator SIM motor dari PT.Citra Mandiri Metalindo seharga Rp 77,79 Juta per unit. Padahal, simulator sim motor itu dibeli Budi dari PT Inovasi Teknologi Indonesia (perusahaan milik Bambang) dengan harga Rp 42,8 Juta per unit.
Sementara itu, untuk harga simulator mobil, diketahui Budi menjual kepada Direktorat Lalu Lintas seharga Rp 256,142 Juta per unit. Padahal, simulator itu dibeli Budi dari perusahaan Bambang seharga Rp 80 Juta per unit.
Mengacu pada angka yang dipasang Budi per simulator, Erick mengatakan bahwa hitungannya menunjukkan Budi memperoleh keuntungan lebih dari 100%. Padahal, ujar Erick, prosentase keuntungan normalnya di bawah angka 100%.
"Saya pernah melakukan riset, untuk proyek besar seperti simulator sim itu, pedagang biasanya hanya cari untung 10-20%. Kalau sampai 100%, jelas itu mark up," ujar Erick menegaskan.
Mengetahui adanya mark up tersebut, Erick meminta KPK untuk segera menanganinya. Ia juga mengatakan bahwa Budi harus diperiksa sebagai salah satu yang terlibat dalam proyek pengadaan simulator sim tersebut.
Ketika Tempo menanyakan tanggapan Erick mengenai bantahan Mabes Polri bahwa Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo terlibat suap dalam kasus proyek pengadaan simulator sim, ia mengaku bahwa hal itu sudah ia duga. Dan, menurut Erick, silahkan saja polisi terus membantah pernyataan kliennya.
"Klien saya hanya mengatakan apa adanya dan itulah yang kami terima. Terserah polisi mau menerima atau tidak," ujar Erick.
Terakhir, Erick mengatakan bahwa kasus yang tengah dijalani kliennya kali ini memang tergolong berat. Pasalnya, barang bukti yang dikumpulkan sangat minim dan sejauh ini hanya ada dua saksi untuk kasus yang menimpa kliennya. Meskipun begitu, Erick optimis kliennya bisa menghadapinya.
"Kami bisa bergerak dari kasus mark up dan aliran dana ke kepolisan. Pintu masuk untuk pengusutannya di situ," tandas Erick.
Sebelumnya, juru bicara Mabes Polri Irjen Saud Usman Nasution membantah adanya aliran dana ke pihak kepolisian. Namun, temuan Tempo menunjukkan hal sebaliknya. Tempo menemukan adanya bukti transfer sejumlah uang kepada Primer Koperasi Polisi (Primkopol) dan Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum).
0 comments:
Post a Comment